Sunyi, tapi Ada

Wednesday, May 31, 2017


Apa yang paling sulit untuk dipelajari selama kurang lebih hampir 7 tahun mempelajari ilmu psikologi (sosial)?

Rasanya, adalah eksistensi.

Belakangan saya sedang membaca buku The Selfish Gene dari Richard Dawkins. Belum selesai, sih. Namun di bab-bab awal Dawkins menulis bahwa "gene" adalah satu yang imortal - dan kita tidak. Mungkin ada benarnya ya, begitu juga tulis Ernst Becker, seorang antropolog yang juga mengilhami teori psikologi sosial: manusia akan melindungi eksistensinya sendiri saat dihadapkan dengan kematian (fear of death). Salah satu buku psikologi menyebutkan kematian menjadi misteri bagi perkembangan manusia karena tidak ada satupun yang kembali dari kematian untuk mengatakan apa yang terjadi di sana. Interpretasi akan eksistensi menjadi beberapa, mungkin puluhan dan ribuan. Salah satunya melalui agama dan adat. Manusia berusaha menciptakan eksistensi dirinya sendiri karena sebagai makhluk dengan kapasitas kognitif kesadaran diri yang tinggi, kita sadar bahwa kita tidak imun terhadap mortalitas.


Salah satu dampak eksistensi mungkin adalah pertahanan self-esteem atau kepercayaan diri. Membahas self-esteem tidak ada habisnya. Saya menjadi satu dari sekian yang percaya self-esteem memegang fungsi sentral pada diri manusia. Baru-baru ini saya membaca artikel di Time mengenai riviu Instagram sebagai media sosial terburuk bagi kesehatan mental. Sebagai media sosial berbasis visual, Instagram "memaksa" penggunanya untuk selalu terlihat sempurna, membandingkan dirinya dengan banyak orang lain yang "terlihat" sempurna dengan diri dan hidupnya. Depresi dan kecemasan tidak terhindarkan. Postulat saya: self-esteem yang terancam. 

Sekarang, kalimat "cogito ergo sum" dari esai terkenal René Descartes berjudul "Discourse on the Method of Rightly Conducting one’s Reason and Seeking Truth in the Sciences" sudah berganti rupa. Pada esai itu Descartes banyak bicara soal ilmu dan ketuhanan, kemudian mengarah kepada bagaimana berpikir (untuk mencapai ilmu pengetahuan dan kebenaran) adalah jalan menuju eksistensi itu. Kini eksistensi kita terpecah. Mungkin sedikit foto di Instagram, atau status di Whatsapp. "Saya sedang di sini melakukan ini bersama orang ini" menjadi simbol eksistensi. Serupa dengan vandalisme-vandalisme di puncak gunung sih ya, singkatnya. Meski begitu saya tidak menafikan fakta bahwa masih banyak orang yang dalam kesunyiannya mempertahankan eksistensinya dengan banyak berpikir (I know it because I date and madly in love with one). 


Sedih sekali rasanya melihat banyak orang menjadi budak self-esteem-nya saat ini. Naif jika kita bilang manusia masih menjadi makhluk paling istimewa yang memiliki self-control, tidak seperti binatang lainnya. Buku yang baru-baru ini saya baca dari Frans de Waal berjudul Are We Smart Enough to Know How Smart Animals Are? adalah satu buku yang dengan baik bertutur bagaimana ditemukannya binatang lain memiliki pengendalian diri akan delayed gratification, sama halnya yang pernah ditemukan pada anak kecil, beberapa dekade lalu oleh bidang ilmu psikologi. Tapi manusia modern saat ini tidak memiliki kendali penuh akan dirinya, setidaknya keinginannya dalam melindungi self-esteem-nya sendiri. Intoleransi adalah bukti nyata. Agama dan budaya adalah salah satu akar atau sumber self-esteem manusia, sehingga saat hal tersebut diusik, kita akan melakukan perlindungan terhadap keduanya. Namun manusia, sebenarnya juga memiliki mekanisme untuk meredam kemarahannya yang termasuk dalam self-control, ditambah manusia memiliki bagian otak yang memungkinkan manusia merasakan empati untuk berada di posisi orang lain.

Saya mengakui hal tersebut memang sulit dilakukan. Beberapa waktu lalu saya banyak mengeluhkan kesendirian saya di tempat baru saya. Perlu waktu lama untuk melakukan introspeksi, dan menemukan fakta bahwa pada dua tahun lalu saya ada di posisi yang sama di posisi orang yang dituntut untuk selalu menemani pasangannya beradaptasi. Saya tahu persis rasanya. Tuntutan kerja pergi pagi dan pulang tengah malam, lalu harus mengurusi proses adaptasi seseorang memang melelahkan. Saya mencoba lagi. Saya tidak boleh kalah dengan ideologi saya akan "hal yang paling tinggi dari manusia adalah tingkat kesadarannya", dan saya mencoba lagi untuk mengendalikan diri saya dibanding kalah dengan keinginan dan self-esteem saya.

Mungkin itu kenapa saya selalu rindu berada di alam.
Alasan mengapa saya jatuh cinta dengan universitas saya yang dengan segala problematikanya, menyediakan tempat seluas 300 hektar untuk berolahraga, berjalan-jalan, atau sekedar duduk di pinggir danau mencari burung yang hinggap di pepohonan. 
Alasan mengapa saya jatuh cinta dengan lautan, yang meski saya tidak tertarik menyelaminya, saya bahagia bisa duduk di pinggir atau berlayar di atasnya dan berpikir apa saja yang ada di bawah sana.

Alasan mengapa saya jatuh cinta dengan gunung, yang tingginya memisahkan kita dari keramaian kota, berhenti melihat banyak sekali tanaman dan binatang melintas, atau barangkali hanya jejaknya.
Beberapa waktu lalu saya naik Gunung Manglayang dengan dua orang pendamping, dan meski di puncaknya kami harus berdamai dengan diri sendiri karena banyak rombongan yang bersuara keras atau memasang musik kencang-kencang, saya yakin bukan gunung yang menjadikan manusia begitu. 
Kita yang kehilangan kendali atas diri kita sendiri.

Saya ingin sembuh lagi.
Menguasai diri saya sepenuhnya lagi.
Jadi saya putuskan menutup akses saya akan dunia sosial selain kanal personal ini dan perpesanan pribadi. Saya menghapus yang lainnya.
Saya ingin banyak berpikir lagi dan merasa ada.
Being present and blissful whenever I have privilege to do so


Merasa sunyi, tapi ada.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!