Di Sudut Museum

Wednesday, May 18, 2016

Museum terbaru Smithsonian di Washington D.C.: Space and Air Museum
Memiliki ayah akademisi arsitektur-antropologi memberikan dampak signifikan pada masa kecil saya: menghabiskan waktu di museum. Ayah saya senang mengajak saya ke museum, candi, tempat bersejarah, kota tua, dan galeri seni. Dimulai dari Museum Gajah (atau Museum Nasional) di jantung kota Jakarta, Papa juga sering mengajak saya ke museum lain sambil bercerita sejarah peradaban Indonesia. Saat saya beranjak besar, saya mulai berkeliling museum sendirian di area kota tua Jakarta, menumpang mobil Papa lalu naik Transjakarta ke arah Museum Fatahillah dan sekitarnya.

National Museum, Jakarta
Ada romansa di tengah-tengah gedung tinggi dan tua: sepi. Saya bukan penikmat keramaian, jadi museum adalah tempat yang rasanya pas buat saya. Kita bisa menyusuri tiap sudut tanpa khawatir akan ada suara musik yang terlalu keras atau flash dari kamera yang terlalu terang. Kemudian, di setiap bendanya bisa kita temui informasi menarik mengenai sejarah, pemikiran, atau temuan penelitian yang bisa membuat kita berhenti sejenak: antara bertanya "benarkah demikian?" atau malah terpukau, "oh, ternyata demikian".

Hingga detik ini, saya sudah pergi ke puluhan museum, meski di antaranya saya tidak memiliki dokumentasi karena memang banyak museum yang melarang pengambilan gambar. Namun, rasanya saya bisa menceritakan beberapa museum favorit saya di tulisan ini, sebagai persembahan saya bagi pelestarian sejarah bangsa-bangsa.

1. Ullen Sentalu, Yogyakarta


Tiga kali berkunjung kesini, museum misterius ini tetap menjadi favorit saya sejak saya pertama kali kesana berkat majalah National Geographic Traveler. Museum ini merupakan museum yang dikelola pihak swasta dan menyimpan koleksi pribadi terkait Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta. Terdapat keterangan mengenai hubungan kedua kesultanan di dalam museum ini. Memasuki museum ini harus didampingi seorang pemandu dan mengikuti rute yang ditentukan. Meski ini membuat kita tidak bisa mengamati semua koleksinya dengan seksama, tapi menyenangkan juga memiliki pihak interaktif yang bisa kita tanya apapun. Terdapat suguhan minuman khas museum ini di tengah perjalanan.

2. Fort Missoula, Missoula


Museum ini sebenarnya berbentuk area yang terkumpul dari museum-museum kecil. Ada bekas menara pandang, sekolah, dan rumah. Saya membawa apel dan partner saya saat itu membawa sandwich, kami bisa makan di sebuah bekas rumah yang di dalamnya dihias dengan benda sejarah dari masa keemasan pertambangan di Montana. Saking sepinya, jika kami berdua diam, hanya akan ada suara angin yang menggoyang dedaunan yang terdengar. Tempat ini sungguh tenang, dan membuat saya ikut menjadi tenang meski telah bersepeda jauh dari pusat kota menuju tempat ini.


3. Museum Linggarjati, Cirebon



Terletak di Kuningan dekat titik pendakian Gunung Ciremai, museum berbentuk rumah ini menawarkan ketenangan dalam keapikannya. Seluruh kamar masih rapi ditata bekas perundingan Linggarjati tahun 1946. Perundingan ini amat penting bagi Indonesia karena menentukan status kemerdekaan Indonesia dan ultimatum perginya Belanda dari tanah Indonesia. Kamar-kamar dengan tata ruang masa lalu membuat saya ingin tidur saja di sana dan tidak perlu pulang ke rumah.

4. National Museum of Natural History, Washington, D.C.


This is where the miracle happens at night!
Bercanda, haha. Saya sudah jatuh cinta dengan museum ini sejak menonton film "Night at The Museum" dengan Papa. Saat itu dalam hati saya membatin, "saya harus kesana, minimal sekali dalam hidup saya", dan Tuhan menjawabnya bertahun kemudian. Bersama seorang teman dekat, saya bisa kesana dan menyaksikan beragam koleksi yang menakjubkan, mulai dari awetan hewan dan replika ubur-ubur raksasa, ada juga primata, manusia pra-sejarah, dan lainnya, all for free! Rasanya waktu dua jam tidak cukup untuk berkunjung ke sini, semoga saya bisa ke sana lagi dan menghabiskan waktu seharian penuh di sana suatu saat nanti.

5. Museum Kata, Belitung


Romantisme sastra Indonesia, menurut saya tidak ada yang bisa mengalahkan (kecuali Persia, yah, setara lah). Ini jelas adalah bias saya, namun museum ini membawa saya menikmati bukan hanya sastra dan roman yang ada di dinding namun juga setiap sudutnya. Meski saya penikmat seni simetris, bangunan dengan desain sangat asimetris ini bisa tetap nyaman dipandang dan dinikmati.

6. Louisiana State Museum, New Orleans


New Orleans adalah kota penuh persimpangan budaya. The birthplace of Jazz ini jelas memiliki museum yang menarik untuk dikunjungi. Digabung menjadi satu area, Cabildo (Museum of History) dan Louisiana State Museum memiliki koleksi beragam: era kolonialisme Prancis, Jazz, Mardi Gras, badai Katrina. Dari mulai ruang simulasi bencana, vinyl, dan topeng-topeng Mardi Gras bertebaran di sana-sini. Menyenangkan berada di pusat kota tua New Orleans ini.

7. Montana Historical Society Museum, Helena


Ada ikatan antara saya dan rumah adat (iya, karena pengaruh ayah saya), jadi saya cukup histeris melihat replika tipi (teepee) asli di museum ini. Meskipun tipi bukan rumah adat orang Amerika (ya, pada dasarnya apa rumah adat Amerika?), ini adalah rumah penduduk asli suku-suku di Benua Amerika. Ada beberapa komunitas yang tinggal di sekitar Montana seperti Blackfeet, Salish, Kootenai, dan lainnya. Saya agak lupa rumah ini bagian dari adat suku yang mana, meski begitu tetap menakjubkan. Ada pula replika gua dan dinding pegunungan khas Montana dan binatang-binatang endemiknya.

8. Museum Nasional, Jakarta


Tentu saja museum ini adalah favorit saya, sebabnya kini Museum Gajah sudah besar, memiliki banyak pameran dan acara seni, memiliki miniatur rumah adat Indonesia yang saya ingin bawa pulang semuanya, dan memiliki taman penuh arca dari zaman lampau. Museum ini adalah museum yang secara rutin saya sambangi dari kecil hingga dewasa.

9. National Geographic Museum, Washington D.C.


Museum paling interaktif dan canggih yang pernah saya singgahi! Sebenarnya lebih tepat disebut galeri karena mereka berganti koleksi dalam periode waktu tertentu. Saat saya kesana, sedang ada dua pameran yakni Monsterfish dan Indiana Jones.  Di pameran Monsterfish, terdapat banyak teknologi interaktif, games, video, dan sebagainya untuk sarana edukasi mengenai ikan-ikan raksasa yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Sementara Indiana Jones lebih kepada pemutaran footage-footage dari film tersebut dan dikaitkan dengan fakta sejarah yang sebenarnya. Menggunakan tablet dan personal audio-visual integration, saya cukup ternganga-nganga di pameran ini.

10. National Air Space and Museum, Washington D.C.


Saya mesti berlari di sepanjang area National Mall untuk mengejar jam tutup museum ini. Ada banyak sekali museum di National Mall yang dikelola Institusi Smithsonian, tapi museum yang baru dibuka tahun 2003 ini adalah bucket list saya. Begitu masuk saya disambut dengan beragam pesawat baik yang digunakan di Bumi dan penjelajahan luar angkasa. Saya baru mengeksplor setengah areanya sebelum pengumuman museum akan segera ditutup terdengar. Saya harap saya bisa kembali kesana suatu saat nanti, untuk seharian penuh.

Ada dua tambahan hal yang saya sering temukan di museum, dan saya senang sekali memperhatikannya. Berikut adalah dua hal tersebut.

+1. Pameran

Pameran NASA di National Museum of American History
Pameran di museum makin interaktif dan menyenangkan. Ada dua pameran favorit saya hingga saat ini, pertama adalah pameran NASA di museum nasional sejarah Amerika (seperti Museum Nasional kita). Ada beberapa staf NASA yang hadir membawa spacesuit, dan perlengkapannya. Pengunjung bisa mencobanya langsung (saya lebih tertarik ke kostum yang serupa dengan sleeping bag berjalan). Dan memang benar - SUPER BERAT.

Pameran kedua adalah Jalur Rempah di Museum Nasional Jakarta. Pameran ini sangat interaktif dan didesain dengan tata ruang yang apik sehingga kita bisa mendapat pengalaman melalui lima panca indera. Saya suka sekali.



+2. Tata Bangunan

National Gallery Singapore
Museum umumnya dibangun di bangunan tua yang memang ditujukan untuk preservasi sejarah dan arsitektur lampau. Menyenangkan rasanya bisa berada di sebuah gedung yang amat besar dan banyak koridor di tengah void gedung. Rasanya seperti di Hogwarts jika mengunjungi National Gallery Singapore. Bangunan favorit saya yang lain adalah Gedung Arsip yang terletak dekat Terminal Busway pusat Harmoni.

Gedung Arsip, Jakarta
Gedung Arsip sudah sering dijadikan gedung acara pernikahan outdoor. Tapi memang gedung ini menyenangkan dengan taman di tengah dan gedung tua di sekelilingnya. Bahkan, tata ruang toiletnya pun juga menyenangkan. Gedung museum di New Orleans pun menawarkan lorong dan koridor panjang dengan jendela besar yang menyenangkan.


Museum adalah rumah bagi saya ketika saya merasa kehilangan identitas dan ingin menghindar dari keramaian. Jelas, ada kalanya museum sangat penuh, tapi bisa dihindari dengan mengetahui jam dan hari operasional museum. Tapi museum memiliki berjuta informasi yang tidak kita ketahui, dan saking malasnya kita membaca buku sejarah yang lebih tebal dari Al-Qur'an, akhirnya pihak museum harus bersikeras dengan segala kreativitas yang mungkin divisualisasikan, audiokan, atau kini bahkan dibuat aromanya. Di sebuah museum di Singapura kita bisa mencoba langsung aroma buah dan rempah, diiringi suara pohon dan serangga.

Tepat hari ini kita memperingati Hari Museum Internasional.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk para peneliti, kurator, pemerintah, pengelola, dan para donatur yang mewujudkan museum menjadi sarana edukasi identitas yang murah dan terjangkau oleh berbagai kalangan.

Saya tunggu di sudut-sudut museum, ya! 

You Might Also Like

2 comments

  1. Pitek, kok sama sih suka ke museum jugaaa eheheh. Gue tertarik banget sama museum LInggarjati. Kemarin waktu ke Kuningan gak sempat mampir ke sana. Semoga gue bisa mampir ke sana di lain waktu. Nice info, tek!

    http://krismaadiwibawa.wordpress.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Biasanya anak2 penyuka candi bakal suka museum juga sih Kris ya gak sih?
      Sama-sama ya, jangan lupa reviewnya nanti kalau ke museum lagi!

      Delete

Let's give me a feedback!